Jumat, 03 Desember 2010

SEJARAH MASJID JAMI PONTIANAK



Pendiri masjid sekaligus pendiri Kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie. Ia seorang keturunan Arab, anak Al Habib Husein, seorang penyebar agama Islam dari Jawa. Al Habib Husein datang ke Kerajaan Matan pada 1733 Masehi. Al Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaludin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
Syarif Abdurrahman melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri sungai Kapuas. Ikut dalam rombongannya sejumlah orang yang menumpang 14 perahu. Rombongan Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 23 Oktober 1771. Kemudian mereka membuka dan menebas hutan di dekat muara itu untuk dijadikan daerah permukiman baru. Abdurrahman mendirikan sebuah kerajaan baru Pontianak. Ia pun membangun masjid dan istana untuk sultan.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putera bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan almarhum ayahnya. Maka pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah Syarif Usman dewasa, dia menggantikan pamannya sebagai Sultan Pontianak, pada 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya.
Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama Islam di masjid Jami' Sultan Abdurrahman. Mereka di antaranya Muhammad al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
Masjid Jami' Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jamaah shalat. Masjid akan penuh terisi jamaah shalat, saat waktu shalat Jumat dan tarawih Ramadan. Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradisional. Di belakangnya merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis dan di bagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.

Rabu, 01 Desember 2010

CERITA MAKAM JUANG MANDOR



Buat sebagian orang nama Mandor mungkin sudah sangat sering terdengar. Tapi jika berbicara mengenai kota Mandor, mungkin sebagian dari kita masih sangat asing mendengarnya. Bahkan sebagian dari kita tidak mengetahui bahwa dahulu pada masa penjajahan Jepang pernah terjadi suatu peristiwa berdarah yang pernah terjadi di kota Mandor tersebut.
Kota Mandor sendiri dahulu merupakan wilayah dari Kabupaten Pontianak, namun kini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Landak di provinsi Kalimantan Barat. Pada saat itu Kalimantan Barat berhasil dikuasai oleh pasukan Jepang yang berasal dari pasukan ke-29, yang berhasil membuat pasukan belanda kocar-kacir. Hingga akhirnya pada awal februari seluruh kota Kalimantan berhasil dikuasai oleh tentara Jepang.
Ketika berhasil menguasai Kalimantan Barat, termasuk Pontianak, tentara Jepang banyak sekali melakukan penindasan kepada rakyat Kalimantan Barat, hingga banyak dari mereka yang ditindas itu kemudian meninggal. Biasanya yang melakukan penindasan dan penyiksaan tersebut adalah Kempeitai dan Tokkeitai. Model penyiksaan mereka biasanya adalah dengan terapi air dimana mulut para tahanan dimasukkan air melalui selang dan juga penyungkupan. Kebanyakan dari mereka yang menjadi korban adalah dari kalangan feodal, cerdik pandai, ambtenaar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama hingga rakyat jelata.
Yang membuat peristiwa ini memilukan adalah para korban tersebut dibantai dengan cara kepala mereka dipancung hidup-hidup dengan samurai setelah kepala mereka ditutupi dengan sungkup, dan ini dibuktikan dengan banyaknya samurai patah di sekitar lokasi pemancungan. Dan kota Mandor sendiri pada saat itu adalah ladang pembantaian tersebut. Tak terhitung berapa banyak korban yang tewas akibat pembantaian tersebut.
Menurut Yamamoto, seorang mantan Kempeitai di daerah tersebut mengatakan bahwa jumlah korban mencapai angka sekitar 50.000 orang. Dan sebagian dari mereka yang dibunuh tersebut adalah kaum-kaum intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat. Bahkan Sultan Pontianak pun menjadi korban dari peristiwa ini bersama dengan 60 orang kerabatnya. Disini jelas sekali pembantaian yang dilakukan Jepang tersebut sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan.

Sebenarnya pembantaian yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat tersebut memang mempunyai suatu maksud. Kalimantan Barat sendiri mempunyai lokasi yang strategis dan hanya mempunyai penduduk sekitar satu setengah juta jiwa. Selain itu Kalimantan Barat sendiri mempunyai wilayah yang sangat luas yaitu satu setengah kali luas pulau Jawa ditambah Madura dan Bali. Kalimantan sendiri pada waktu itu akan dijadikan seperti Manchuria dan Korea kedua.
Pada waktu itu di Kalimantan Barat, semua orang yang berumur dua belas tahun ke atas semuanya akan dibunuh habis. Generasi sisanya sampai kanak-kanak akan dididik dengan ala Jepang ditambah dengan orang-orang jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. Maka jadilah Kalimantan barat lima puluh tahun mendatang sebagai “ Jepang beneran” dan itu merupakan rencana militer Jepang. Itulah sebabnya mengapa banyak kaum intelektual yang dibunuh pada saat pembantaian di kota Mandor tersebut.
Dan setelah Indonesia merdeka, di tempat dimana peristiwa tersebut terjadi yaitu di daerah Mandor pada tanggal 28 Juni 1944. Dibangun sebuah Monumen perjuangan untuk mengenang para korban pembantaian tersebut, yang diberi nama Monumen Juang Mandor yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat pada saat itu Kadarusno tahun 1977.

M Alfian Nugraha (Pend Seejarah 08)

Senin, 29 November 2010

MAKAM BATU LAYANG



Makam Batu Layang, juga disebut dengan Taman Makam Raja-raja dari Kerajaan Pontianak, mulai dari Raja Pertama (Sultan Syarief Abdurrachman Alqadrie) hingga Raja terakhir (Sultan Hamid II) serta beberapa keluarga raja. Tempat ini biasanya ramai dikunjungi khususnya pada Hari Besar Islam. Makam ini terletak kurang lebih 2 kilometer dari Tugu Khatulistiwa yang dapat dikunjungi dengan menggunakan transportasi darat maupun transportasi air (sampan)

KERAJAAN PONTIANAK



 Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah Pendiri dan Sultan pertama Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah / 1729/1730 M, putra Al Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal Arab.
Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu dzuhur mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan salat zuhur itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, dimana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Mesjid Jami dan Keraton Kadariah.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya'ban 1192 Hijriah,bertepatan dengan hari Senin dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie.
Dibawah kepemimpinannya kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang cukup disegani.

KISAH KOTA KETAPANG

 
 
SEJARAH KOTA KETAPANG
Dalam Atlas Sejarah yang disusun oleh Muhammad Yamin (1965) untuk mengidentifikasi Nusantara Raya menurut Mpu Prapanca di dalam naskah Nagarakertagama, wilayah geografi kota Ketapang saat ini diberi nama Tandjungpura. Kemudian dalam peta pada masa kesultanan Riau-Johor (Harun : 2003), wilayah kota Ketapang dinamai Matan.
Perubahan nama wilayah geografis dari Tanjung Pura menjadi Matan dan kemudian Ketapang, tidak diketahui dengan pasti karena tidak ada catatan sejarah atau prasasti yang menunjukkan peristiwa itu. Namun perubahan nama tempat atau kota pada masa kerajaan diduga akibat perubahan letak kerajaan atau berubahnya raja yang berkuasa ditempat itu akibat suatu peristiwa tertentu (perang, bencana alam dan keputusan raja).
Kepastian sejarah mengenai berdirinya Kota Ketapang hingga saat ini masih samar. Namun dapat dikatakan bahwa Kota Ketapang merupakan salah satu kota tertua di wilayah Kalimantan Barat yang dibuktikan dengan keberadaan Kerajaan Tanjungpura - Matan di wilayah Kota Ketapang yang merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Dugaan itu setidaknya didasarkan beberapa kronik Cina, Nagarakertagama, prasasti Waringin Pitu dan penelitian para ahli linguistik di kepulauan Indo-Malaya.
Dalam kronik Cina Chu Fan Chi yang dibuat oleh Chau Ju Kwa tahun 1225 M, Tanjungpura disebut dengan nama Tan-jung-wu-lo, dikatakan bahwa daerah ini sekitar tahun 1200 M merupakan jajahan raja Jawa. Periode sezaman dengan tarikh kronik ini, di Jawa berkuasa Raja Jenggala - Kediri terakhir yaitu Sri Jayawarsa/Kertajaya (1190 - 1205 M) serta merupakan periode pertama berdirinya kerajaan Singasari dengan rajanya yaitu Sri Ranggah Rajasa/Ken Arok (1222 - 1227 M). Maka apabila menggunakan tarikh dalam kronik Cina ini, Tanjungpura baik sebagai kerajaan maupun sebagai kota sudah berdiri pada sebelum tahun 1200 M. Namun letak wilayah geografisnya sulit ditentukan apakah dalam batasan "Kota Ketapang".
Chau Ju Kwa adalah seorang pedagang yang kemungkinan singgah di kota Tan Jung Wu Lo yang terletak di tepi pantai atau di dekat sungai. Sebagai pedagang antar negara, "perahu" yang dibawanya tentulah dengan tonase cukup besar, dan hanya bisa berlabuh dialur yang dalam dan luas. Diduga saat itu, lokasi kota Tan Jung Wu Lo berada dekat dengan pelabuhan, dan wilayah geografisnya saat ini mungkin terletak di "Ketapang Kecik", Kandang Kerbau (Sukabangun), atau sekitar kuala sungai pawan (Negeri Baru).
Dalam Nagarakertagama, Tanjungpura disebut sebagai daerah bawahan Majapahit. Naskah Nagarakertagama oleh Prapanca selesai ditulis pada tahun 1365 M, periode Raja Hayam Wuruk berkuasa (1350 - 1389 M). Selain menceritakan tentang kerajaan Majapahit, naskah tersebut juga menceritakan kerajaan Singasari (1222 - 1292 M). Salah satu alur sejarah yang dapat dicermati yaitu pada saat pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Amangkubumi (1334 M) oleh Sri Tribuana Tunggadewi (1328 - 1350 M) dia mengucapkan sumpah setianya (disebut Sumpah Palapa), dan Tanjungpura pada saat itu belum merupakan daerah bawahan Majapahit. Oleh karenanya salah satu isi sumpah Gajah Mada adalah akan menundukkan Tanjungpura (Atmodarminto : 2000).
Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M), Tanjungpura (Tanjungnagara) sudah merupakan nama ibu kota negara bagian Majapahit untuk wilayah Pulau Kalimantan (Sehieke 1959). Pada masa itu, Majapahit dipimpin oleh raja Dyah Kertawijaya/Prabu Kertawijaya Brawijaya I (1447 - 1450 M). Letak geografis kota Tanjungpura tersebut sebagaimana yang identifikasi Pigeaud (1963), Djafar (1978), dan Muhammad Yamin (1965), adalah terletak didalam batasan wilayah "Kota Ketapang" yaitu sebelah selatan kota Ketapang (sekarang Negeri Baru).
Versi lain mengenai berdirinya kota Ketapang dapat ditinjau dari peristiwa sejarah yang sangat penting pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin di Kerajaan Matan, yaitu peristiwa perampasan kekuasaan oleh saudaranya sendiri Pangeran Agung pada tahun 1710 M. Pangeran Agung yang gagal merebut tahta saudaranya, dipenjarakan (diasingkan) oleh Sultan Muhammad Zainuddin dengan membuatkannya suatu kota kecil lengkap dengan pelayannya (gundik) 40 orang. Dalam Sejarah Kalimantan Barat (Loutan 1973) daerah tersebut adalah Darul Salam. Orang Ketapang menyebut daerah tersebut Tembalok (tempat penjara raja) atau Sei Awan seberang Sukabangun. Dalam sejarah kerajaan Riau Johor dikatakan "dikurung dalam kota kecil sampai mati" (Ahmad 1985).
Hingga saat ini kesepakatan tentang hari jadi Kota Ketapang masih dalam proses kajian. Data diatas dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penentuan hari jadi Kota Ketapang secara legal formal (berdasarkan rujukan hasil Diskusi Panel Adat Budaya dan Kelestariannya di Musyawarah Besar II Ikatan Keluarga Kerajaan Matan dan Tanjungpura tanggal 7 s/d 8 Agustus 2004).

KISAH SANGGAU _ MELIAU

Sejarah Kerjaan Meliau

Raja pertama kerajaan Meliau adalah Pangeran Mancar, putra ketiga Brawijaya dari kerajaan Majapahit. Bersama dengan saudara-saudaranya, Pangeran Mancar meninggalkan kerajaan Tanjungpura yang sering terlibat peperangan menuju daerah pedalaman Kalimantan.
Di daerah Meliau, keturunan Jawa ini kemudian melindungi wilayahnya dengan jimat berupa gumpalan tanah dari tungku dapur menanak nasi raja Tanjungpura agar aman dari serangan suku Dayak. (kenapa suku dayak bsa menyerang kerajaan tsb? saya rasa disini perlu di garis bawahi, bukankah sebaliknya mereka yang mengaMbil alih tanah orang dayak dan melakukan hal2 yg membuat orang dayak MENYINGKIR HINGGA KE PEDALAMAN2!!!!. Tanah tersebut diambil oleh Rangga Macan yang menghadap raja Tanjungpura memohon perlindungan. Hingga kini tanah tersebut tersimpan di daerah Meranggau.
Pada 1866, Pangeran Adipati Mangku Negara, panembahan kerajaan Meliau mengundurkan diri. Atas bantuan Belanda, putra mahkota yang pergi merantau tanpa diketahui keberadaannya, diketemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Ia telah memeluk agama Kristen dan menjadi pedagang. Atas bujukan Belanda, putra mahkota kembali ke Meliau pada 1869 dan dinobatkan sebagai raja dengan gelar Ratu Anum Paku Negara. Ratu Anum Paku Negara kemudian kembali ke agama Islam serta mendirikan keraton dan pendopo dari kayu dengan arsitektur yang indah di zamannya.
Ratu Anum Paku Negara wafat pada 1885. Putra tunggalnya, Abdul Salam pada waktu itu menjabat sebagai jaksa di Betawi. Abdul Salam kemudian diangkat menggantikan ayahnya dengan gelar Pangeran Ratu Muda Paku Negara. Pada 2 Agustus 1889, karena kurang puas dengan penghasilannya Pangeran Ratu Muda Paku Negara meninggalkan tahta kerajaan dan kembali ke Betawi. Tahun 1897, ia wafat tanpa meninggalkan keturunan.
Dengan beslit nomor 23 tanggal 15 Januari 1890, Gusti Mohamad Ali dari kerajaan Tayan kemudian menggabungkan kerajaan Meliau ke kerajaannya yang berlaku efektif pada 26 Februari 1890. Pada masa pemerintahan panembahan kerajaan Tayan berikutnya, Panembahan Anum Paku Negara, kerajaan Meliau dijadikan Gouvernement Gebied di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda.

KISAH SINGKAWANG




Singkawang atau bisa disebut KOTA AMOY adalah sebuah kota yang dulunya menjadi ibu kota Sambas dan setelah di lakukan pemekaran kabupaten Sambas singkawang menjadi bagian dari kabupaten Bengkayang.Dengan UU No 12 tahun 2001 Singkawang resmi menjadi Pemerintahan kota Singkawang.Singkawang terletak 145 km dari ibu kota provinsi KAL-BAR yaitu Pontianak dan terbagi menjadi lima daerah yaitu Singkawang utara, Singkawang selatan, Singkawang barat, Simgkawang timur, dan Singkawang tengah.
Nama unik kota Sinkawang mempunyai beberapa asal-usul.Ada yang mengatakan bahwa nama Singkawang diambil dari nama tanaman yaitu "TENGKAWANG" yang terdapat di wilayah hutan tropika.Dalam versi orang cina atau Tionghua dari suku "KHEK/HAKKA" kata Singkawang berasal dari kata Sau Kew Jong yang berarti kota yang terletak diantara laut,muara,gunung,dan sungai.Orang tinghua tersebut tidak berlebihan, kenapa tidak ?,karena Sebelah barat kota Singkwang berbatasan dengan laut natuna,Sebelah selatan dan timur koya Singkawang berbatasan dengan Gunung Roban, Pasi, Raya,dan Gunung Poteng, sedangkan di tengah-tengah kota Singkawang sungai yang mengalir ke laut natuna.

Masyarakat Singkawang begitu heterogen sehingga Singkawang di kenal sebagai kota multi etnis.sebagian besar etnis yang ada di singkawang yaitu etis Melayu, Dayak, dan Tionghua.Singkawang dikenal sebagai Hongkongnya Indonesia atau kota Seribu Vihara karena etnis Tionghua yang ada di Singkawang mencapai 42% dari jumlah penduduk kota Singkawang.Dalam berkomunikasi etnis Tionghua menggunakan bahasa Khek/Hakka sehingga takheran jika berada di kota Singkawang seperti berada di salah satu sudut Kota Hongkong.Salah satu budaya etnis Tionghua adalah CAP GO MEH yang di langsungkan 15 hari setelah tahun baru imlek.karnval ta'aruf dan Pawai Takbir adalah salah satu budaya adat melayu yang mayoritas beragama islam yang ada di Singkawang.sedangkan budaya etnis dayak yang ada di Singkawang yaitu Naik Dango.

KERAJAAN SAMBAS

 



Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di Kota Sambas. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.

TENTANG MEMPAWAH



Kerajaan Mempawah bermula dari sebuah kerajaan Dayak yang berkedudukan di dekat pegunungan Sidiniang, Sangking, Mempawah Hulu yang berdiri kira-kira tahun 1340 Masehi. Kerajaan yang dipimpin oleh Patih Gumantar itu disebut-sebut sebagai pecahan kerajaan Matan/Tanjungpura. Kerajaan ini sangat populer pada zamannya. Patih Gumantar juga telah mengajak Patih Gajahmada dari kerajaan Majapahit mengadakan kunjungan dalam menyatukan Nusantara. Kunjungan ini kemungkinan besar dilaksanakan sesudah lawatan Gajahmada ke kerajaan Muang Thai dalam membendung serangan kerajaan Mongol. Saat itu Gajahmada memberikan hadiah Keris Susuhan yang masih tersimpan sampai saat ini di Hulu Mempawah. Kerajaan ini harus berakhir ketika kira-kira tahun 1400 Patih Gumantar tewas terkayau oleh serangan suku Biaju/Miaju.
Sekitar tahun 1610 kerajaan ini bangkit dan dilangsungkan di bawah kekuasaan Raja Kudung/Kodong. Pusat pemerintahan kerajaan Dayak ini berada di Pekana, Karangan. Istrinya bernama Puteri Berkelim.
Setelah Raja Kodong wafat pada tahun 1680, pemerintahan digantikan oleh Raja Senggauk/Sengkuwuk. Ibukota kerajaan dipindhkan dari Pekana ke Senggauk, hulu sungai Mempawah. Raja Dayak ini beristrikan putri Kerajaan Batu Rizal Indragiri Sumatera yang bernama Putri Cermin. Putri Raja Kodong yang bernama Utin Indrawati kemudian dinikahi Panembahan Muhammad Zainudin, putra Kerajaan Tanjungpura.
Putri Kesumba, cucu Raja Senggauk dari Panembahan Muhammad Zainudin kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambon, bergelar Pangeran Mas Surya Negara dari kerajaan Luwuk yang berdiam di Kerajaan Tanjungpura. Opu Daeng Menambon kemudian diangkat sebagai raja. Ia memindahkan pusat kerajaan ke daerah Sebukit Rama.
Tahun 1766 setelah wafatnya Opu Daeng Menambon, putra mahkota bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya naik takhta. Adiwijaya terkenal anti penjajahan dan pada masanya perlawanan terhadap Belanda pernah terjadi di daerah Galaherang, Sebukit Rama dan Sangking.
Tahun 1840 takhta diserahkan kepada putra mahkota Gusti Jati. Kota pusat kerajaan dibangun di pulau Pedalaman, tempat bekas pendudukan Belanda. Ibukota pusat pemerintahan dinamakan Mempawah, satu nama yang diambil dari nama pohon yang banyak tumbuh di hulu sungai Mempawah, yakni pohon Mempauh.
Pada zaman pemerintahan Gusti Jati terjadi serangan Sultan Kasim dari kerajaan Pontianak yang mengakibatkan mundurnya Gusti Jati ke daerah kerajaan lama, walau Sultan Kasim berhasil diusir mundur ke Pontianak. Tahun 1831 Belanda memanfaatkan kesempatan dengan menobatkan Gusti Amin menduduki kursi pemerintahan. Raja-raja berikutnya juga merupakan boneka Belanda. Setelah raja Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin ditangkap Jepang pada tahun 1944, Jepang mengangkat raja Gusti Mustaan sebagai pemangku jabatan Wakil panembahan karena putra mahkota masih terlalu muda. Putra mahkota tertua, Drs Jimmy Ibrahim, kemudian tidak melanjutkan pemerintahan karena penghapusan swapraja di Indonesia.

TENTANG KAPUAS HULU



SEJARAH KAPUAS HULU PADA ZAMAN BELANDA
 
Sejumlah pegunungan yang membentang di Kabupaten Kapuas Hulu, serupa Schwaner dan Muller, ternyata diabadikan dari nama sejumlah pelaku ekspedisi berkebangsaan asing pertengahan abad XIX di daerah itu.
Wilayah perbatasan antara Kapuas dan Mahakam merupakan salah satu wilayah yang paling terpencil di Borneo. Di sebelah timur, daerah Mahakam Hulu, yang terisolasi oleh jeram-jeram yang sangat berbahaya, di mana suku Kayan-Mahakam, suku Busang termasuk sub suku Uma Suling dan lain-lain serta suku Long Gelat sebuah sub suku dari  Modang menempati daratan-daratan yang subur, sedangkan suku Aoheng mendiami daerah berbukit-bukit. Di sebelah barat, daerah Kapuas Hulu dengan kota niaga kecil Putussibau, dikelilingi oleh desa-desa Senganan, Taman dan Kayan. Lebih ke hulu lagi, dua desa kecil Aoheng dan Semukng. Di antara keduanya, sebuah barisan pegunungan yang besar mencapai ketinggian hampir 2000 meter didiami oleh suku nomad Bukat atau Bukot dan Kereho atau Punan Keriu, serta suku semi nomad Hovongan atau Punan Bungan.
Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi pegunungan ini adalah Mayor Georg Muller, seorang perwira zeni dari tentara Napoleon I yang sesudah Waterloo masuk dalam pamongpraja Hindia Belanda. Mewakili pemerintah kolonial, ia membuka hubungan resmi dengan sultan-sultan di pesisir timur Borneo. Pada tahun 1825, kendati Sultan Kutai enggan membiarkan tentara Belanda memasuki wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan serdadu Jawa. Hanya satu serdadu Jawa yang dapat mencapai pesisir barat. Berita kematian Muller menyulut kontroversi yang berlangsung sampai tahun 1850-an dan dihidupkan kembali sewaktu-waktu setiap kali informasi baru muncul. Sampai tahun 1950-an pengunjung-pengunjung daerah itu pun masih juga menanyakan nasib Muller. Bahkan sampai hari ini hal-hal sekitar kematian Muller belum juga terpecahkan. Diperkirakan Muller telah mencapai kawasan Kapuas Hulu dan dibunuh sekitar pertengahan November 1825 di Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang tempat ia harus membuat sampan guna menghiliri Sungai Kapuas. Sangat mungkin bahwa pembunuhan Muller dilakukan atas perintah Sultan Kutai, disampaikan secara berantai dari satu suku kepada suku berikutnya di sepanjang Mahakam dan akhirnya dilaksanakan oleh sebuah suku setempat, barangkali suku Aoheng menurut dugaan Nieuwenhuis. Karena Muller dibunuh di pengaliran Sungai Kapuas, dengan sendirinya sultan tidak dapat dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab. Bagaimanapun, ketika ekspedisi Niewenhuis berhasil melintasi daerah perbatasan hampir 70 tahun kemudian, pada hari nasional Perancis tahun 1894, barisan pegunungan ini diberi nama Pegunungan Muller.
Menjelang pertengahan abad XIX, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah  pesisir dan perdagangan di muara sungai besar. Penguasaan niaga saja ternyata tidaklah cukup, dan kekuatan-kekuatan kolonial membutuhkan penguasaan teritorial yang sesungguhnya, yang berdasarkan struktur-struktur administratif dan militer. Dalam rangka inilah ekspedisi-ekspedisi besar dilakukan pada perempat akhir abad XIX. Ekspedisi ke Kapuas Hulu dimulai pada 1893 oleh Nieuwenhuis.
Eksplorasi lebih lanjut lalu menyusul pada tahun-tahun pertama abad yang baru oleh Enthoven di Kapuas Hulu Hingga di tahun 1930-an, seluruh pedalaman Borneo telah jatuh di bawah kekuasaan sebenarnya dari kekuatan-kekuatan kolonial, kecuali Kesultanan Brunei yang sudah sangat menciut.
Informasi tentang Borneo dari sebelum zaman penjajahan tidak banyak diketahui. Abad XIX terjadi migrasi suku Dayak Iban secara besar-besaran, memasuki lembah Rejang dari selatan, mungkin dari daerah aliran Sungai Kapuas. Sebelumnya di daerah aliran Sungai Rejang tidak terdapat suku Iban. Dengan bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, suku Iban menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai itu pada tahun 1863 dan terus maju ke utara dan ke timur. Pesta perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya. Menjelang awal tahun 1900-an suku Dayak pengayau telah memasuki daerah hulu Sungai Rajang, Kayan, Mahakam dan Kapuas yang terpencil.

KISAH TUGU KHATULISTIWA


Tugu Khatulistiwa terletak di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Setiap tanggal 21 -23 Maret dan 21-23 September setiap tahun diperingati hari kulminasi matahari di tempat ini, yakni matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa sehingga bayangan benda di tempat ini hilang.
Di kompleks Tugu Khatulistiwa sering pula diadakan agenda wisata khusus, seperti pertunjukan kesenian, pameran dan sebagainya. Berdasarkan catatan yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en. W oleh Opzihter Wiesedikutip dari Bijdragentot de geographie dari Chep Van den topographieschen dient in Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928, telah datang di Pontianak suatu ekspedisi internasional yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik/tonggak garis equator di Pontianak.
Konstruksi awal Tugu Khatulistiwa yang pertama dibangun tahun 1928, hanya berbentuk tonggak dengan tanda panah. Tahun 1930 disempurnakan berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah. Tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Silaban. Pada tahun 1990 kembali Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang asli. Tugu ini diresmikan pada tanggal 21 September 1991.
Bangunan tugu terdiri dari empat buah tonggak belian, masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua buah setinggi 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter.Diameter lingkaran yang bertulisan EVENAAR 2,11 meter. Panjang penunjuk arah 2,15 meter. Tulisan plat di bawah anak panah tertera 109o 20′ OLvGr menunjukkan letak berdirinya tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.