Jumat, 03 Desember 2010

SEJARAH MASJID JAMI PONTIANAK



Pendiri masjid sekaligus pendiri Kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie. Ia seorang keturunan Arab, anak Al Habib Husein, seorang penyebar agama Islam dari Jawa. Al Habib Husein datang ke Kerajaan Matan pada 1733 Masehi. Al Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaludin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
Syarif Abdurrahman melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri sungai Kapuas. Ikut dalam rombongannya sejumlah orang yang menumpang 14 perahu. Rombongan Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 23 Oktober 1771. Kemudian mereka membuka dan menebas hutan di dekat muara itu untuk dijadikan daerah permukiman baru. Abdurrahman mendirikan sebuah kerajaan baru Pontianak. Ia pun membangun masjid dan istana untuk sultan.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari kayu. Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putera bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan almarhum ayahnya. Maka pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah Syarif Usman dewasa, dia menggantikan pamannya sebagai Sultan Pontianak, pada 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya.
Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama Islam di masjid Jami' Sultan Abdurrahman. Mereka di antaranya Muhammad al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan.
Masjid Jami' Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jamaah shalat. Masjid akan penuh terisi jamaah shalat, saat waktu shalat Jumat dan tarawih Ramadan. Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradisional. Di belakangnya merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis dan di bagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.

Rabu, 01 Desember 2010

CERITA MAKAM JUANG MANDOR



Buat sebagian orang nama Mandor mungkin sudah sangat sering terdengar. Tapi jika berbicara mengenai kota Mandor, mungkin sebagian dari kita masih sangat asing mendengarnya. Bahkan sebagian dari kita tidak mengetahui bahwa dahulu pada masa penjajahan Jepang pernah terjadi suatu peristiwa berdarah yang pernah terjadi di kota Mandor tersebut.
Kota Mandor sendiri dahulu merupakan wilayah dari Kabupaten Pontianak, namun kini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Landak di provinsi Kalimantan Barat. Pada saat itu Kalimantan Barat berhasil dikuasai oleh pasukan Jepang yang berasal dari pasukan ke-29, yang berhasil membuat pasukan belanda kocar-kacir. Hingga akhirnya pada awal februari seluruh kota Kalimantan berhasil dikuasai oleh tentara Jepang.
Ketika berhasil menguasai Kalimantan Barat, termasuk Pontianak, tentara Jepang banyak sekali melakukan penindasan kepada rakyat Kalimantan Barat, hingga banyak dari mereka yang ditindas itu kemudian meninggal. Biasanya yang melakukan penindasan dan penyiksaan tersebut adalah Kempeitai dan Tokkeitai. Model penyiksaan mereka biasanya adalah dengan terapi air dimana mulut para tahanan dimasukkan air melalui selang dan juga penyungkupan. Kebanyakan dari mereka yang menjadi korban adalah dari kalangan feodal, cerdik pandai, ambtenaar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama hingga rakyat jelata.
Yang membuat peristiwa ini memilukan adalah para korban tersebut dibantai dengan cara kepala mereka dipancung hidup-hidup dengan samurai setelah kepala mereka ditutupi dengan sungkup, dan ini dibuktikan dengan banyaknya samurai patah di sekitar lokasi pemancungan. Dan kota Mandor sendiri pada saat itu adalah ladang pembantaian tersebut. Tak terhitung berapa banyak korban yang tewas akibat pembantaian tersebut.
Menurut Yamamoto, seorang mantan Kempeitai di daerah tersebut mengatakan bahwa jumlah korban mencapai angka sekitar 50.000 orang. Dan sebagian dari mereka yang dibunuh tersebut adalah kaum-kaum intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat. Bahkan Sultan Pontianak pun menjadi korban dari peristiwa ini bersama dengan 60 orang kerabatnya. Disini jelas sekali pembantaian yang dilakukan Jepang tersebut sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan.

Sebenarnya pembantaian yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat tersebut memang mempunyai suatu maksud. Kalimantan Barat sendiri mempunyai lokasi yang strategis dan hanya mempunyai penduduk sekitar satu setengah juta jiwa. Selain itu Kalimantan Barat sendiri mempunyai wilayah yang sangat luas yaitu satu setengah kali luas pulau Jawa ditambah Madura dan Bali. Kalimantan sendiri pada waktu itu akan dijadikan seperti Manchuria dan Korea kedua.
Pada waktu itu di Kalimantan Barat, semua orang yang berumur dua belas tahun ke atas semuanya akan dibunuh habis. Generasi sisanya sampai kanak-kanak akan dididik dengan ala Jepang ditambah dengan orang-orang jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. Maka jadilah Kalimantan barat lima puluh tahun mendatang sebagai “ Jepang beneran” dan itu merupakan rencana militer Jepang. Itulah sebabnya mengapa banyak kaum intelektual yang dibunuh pada saat pembantaian di kota Mandor tersebut.
Dan setelah Indonesia merdeka, di tempat dimana peristiwa tersebut terjadi yaitu di daerah Mandor pada tanggal 28 Juni 1944. Dibangun sebuah Monumen perjuangan untuk mengenang para korban pembantaian tersebut, yang diberi nama Monumen Juang Mandor yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat pada saat itu Kadarusno tahun 1977.

M Alfian Nugraha (Pend Seejarah 08)